CAHAYA DARI KOTA MALANG JAWA TIMUR



Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, Darul Hadis, Malang Hafal Ribuan Hadits Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad- sanadnya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih. Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al- Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah

(tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir. Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka
memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya. Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin
Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harri dan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya. Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan
tak bertepi.” Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat
mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M. Sebelum berhijrah ke Indonesia,Habib Abdul Qadir menyempatkan
diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim. Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M. Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah,
dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah. Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa
daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan MadrasahDarussalam Tegal, Jawa Tengah. Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang,Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini. Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”…Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan
terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.



Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, Darul Hadis, Malang Hafal Ribuan Hadits Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad- sanadnya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih. Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al- Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah

(tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir. Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka
memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya. Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin
Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harri dan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya. Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan
tak bertepi.” Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat
mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M. Sebelum berhijrah ke Indonesia,Habib Abdul Qadir menyempatkan
diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim. Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M. Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah,
dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah. Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa
daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan MadrasahDarussalam Tegal, Jawa Tengah. Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang,Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini. Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”…Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan
terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.

Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi: “Kita ini Belum Seberapa”






Niatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.








Kampung Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu cukup familiar bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang lainnya.

Nama kampung itu disebut demikian karena keberadaan makam keramat di sana yang bangunan makamnya cukup panjang, sampai beberapa meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lain pada umumnya, yang hanya berkisar dua meter. Namun karena letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan menginjak daerah itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir laut sisi utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali ini dilahirkan.

Habib Ahmad bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari sebelas bersaudara. Ia besar dalam didikan orangtua yang tegas dalam mendidik anaknya.

“Gaya mendidiknya itu gaya wulaiti,” kata Habib Ahmad mengenang masa-masa indahnya saat sang ayah masih ada di tengah-tengah keluarga. Wulaiti adalah sebutan bagi seseorang yang lahir di tanah Arab. Memang, biasanya orang-orang sana itu sangat tegas dalam mendidik keluarganya.

“Ayah saya tergolong galak. Tegas sekali kalau mendidik anak-anaknya. Di rumah, setiap paginya kami harus bangun pagi-pagi sekali. Jam empat subuh harus sudah bangun. Kalau jam empat subuh tidak bangun, siap-siap saja kena siram air,” cerita Habib Ahmad. Meski ceritanya itu terkesan “seram”, Habib Ahmad menceritakannya dengan wajah sumringah. Rupanya ia merasakan bahwa hasil didikan ayahnya yang seperti itulah yang membentuk dirinya hingga bisa menjadi seperti sekarang.

“Walidi (ayah saya) galak. Ana nggak boleh banyak keluar. Ada layar tancap, ada ini, ada itu, tetap nggak boleh keluar. Tapi ana nggak pernah ngambek kalau dimarahin. Kalau walidi habis makan, bekasnya ana habisin. Kalau lagi duduk-duduk santai, ana deketin, terus ana pijit-pijit kakinya. Alhamdulillah, berkahnya sekarang ini amat terasa,” tuturnya.

Tekad Besar

Selain menempuh pendidikan di sekolah formal, Habib Ahmad juga dimasukkan oleh orangtuanya di sebuah madrasah yang jaraknya tak seberapa jauh dari rumahnya. “Orang menyebutnya ‘sekolah Arab’. Di sana saya diajari dasar-dasar pelajaran agama oleh Habib Yahya bin Salim Al-Kaf, di samping kalau di rumah didikan ayah saya terus saya dapatkan.”

Selepas SLTA, ia masuk sebuah pesantren, masih di wilayah Tangerang, yang diasuh oleh Habib Muhammad bin Abdurrahman Alatas. Dari pesantren itu, ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang diasas Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq, Bekasi, yaitu Pesantren Al-Khairat. Di pesantren yang diasuh Habib Hamid An-Nagib B.S.A. itu ia menimba ilmu dari beberapa ustadz. Selain kepada pembina dan pengasuhnya sendiri tentunya, ia juga banyak belajar kepada Habib Noval Al-Kaf (yang kini telah mendirikan pesantren sendiri di Sukabumi, Pesantren Darul Habib), Ustadz Muhammad Vad’aq (putra Habib Ahmad Vad’aq, pengasas Al-Khairat), Ustadz Zaki Mulachela, dan asatidz lainnya.

Di pesantren ini ia benar-benar menyiapkan dirinya dengan berbagai bekal untuk mencapai cita-citanya: belajar di Hadhramaut. Namun ia sendiri tidak tahu, mungkinkah ia dapat pergi ke Negeri Sejuta Wali itu.

“Uang nggak punya, persiapan nggak ada, ilmu masih ala kadarnya. Ya sudah, saat itu pokoknya saya berusaha menjadi seseorang yang seakan-akan sudah punya program jadi berangkat ke Hadhramaut. Saya hafalin dua juz Al-Qur’an, saya hafalin beberapa kitab yang menjadi syarat bagi pelajar yang mau berangkat ke sana. Bahkan saya sampai bikin paspor. Walidi masih belum tahu semua persiapan yang saya lakukan itu. Dan saya juga nggak tahu bisa berangkat apa nggak nantinya,” kisah Habib Ahmad.

Sampai akhirnya, suatu ketika, Allah pun memberi keluasan rizqi kepada orangtuanya. Hingga, dengan persediaan dana yang ada, Habib Ahmad pun merasa sudah siap seratus persen untuk berangkat ke Hadhramaut, melanjutkan pelajarannya di negeri leluhurnya itu. Sebab semua persiapan lainnya telah jauh-jauh hari ia persiapkan.

Harapan besarnya akhirnya kesampaian. Ia berangkat ke Hadhramaut. Sejak kecil, cita-citanya memang jadi orang yang berilmu agama. Ia ingat, sewaktu sekitar kelas 1 SD, kalau ada yang tanya nanti kalau sudah besar mau jadi apa, dengan tangkas Ahmad Al-Habsyi kecil menjawab, “Mau jadi kiai.”


Merasakan Kenikmatan

“Selama di Hadhramaut, saya paling senang kalau sudah masuk bulan Ramadhan. Di malam-malam Ramadhan, suasana masjid-masjid di sana luar biasa. Saat itu, kita merasakan nikmat yang luar biasa, tenggelam dalam ibadah terus-menerus,” kisah Habib Ahmad seputar masa-masa belajarnya di Hadhramaut.

Selain kenikmatan beribadah yang kondusif di negeri itu, Habib Ahmad juga merasakan nikmat dalam belajar. Di samping belajar, ia juga dididik untuk mengajar. Bahkan di samping tugas mengajar, ia juga mengajar secara privat kepada sejumlah santri.

Setelah dianggap cukup bisa terjun ke medan dakwah, setiap Kamis pagi ia dan kawan-kawan di Darul Musthafa keluar sampai malam Jum’at untuk berdakwah ke daerah-daerah Badwi, perkampungan pelosok di Hadhramaut.

“Kami disuruh membawa bekal sendiri, membawa roti. Kami dikirim ke daerah-daerah Badwi. Nggak boleh mengharap apa pun saat berdakwah di sana. Karenanya, kami pun membawa perbekalan sendiri,” kenangnya.

Saat masuk ke suatu daerah, “Kalau ada orangtua yang alim, kami datangin. Ada makam shalihin, kami ziarahin. Ada yang sakit, kami tengokin. Wallah, indah sekali,” kata Habib Ahmad. Bahkan ia sempat tugas khuruj dakwah sampai 40 hari.

Selama di Hadhramaut, ia tidak hanya belajar di lingkungan Darul Musthafa. Tapi, sebagaimana para santri lainnya yang memanfaatkan waktu mereka selama berada di Hadhramaut, ia juga mendatangi tokoh-tokoh ulama di sana, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah bin Muhammad Syihab, Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus (atau yang dikenal dengan sebutan “Habib Sa’ad”), dan para tuan guru Hadhramaut lainnya.

Di antara kenangan manis lain yang ia rasakan dalam masa-masa belajarnya adalah keinginannya sejak dulu untuk bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Sekali waktu, ia berkesempatan menziarahi kota Makkah dan Madinah. Kesempatan itu pun sekaligus ia gunakan untuk datang ke kota Jeddah demi menjumpai tokoh besar yang selama itu hanya dilihat dari foto-foto yang beredar.

Saat ia mendatangi rumah Habib Abdul Qadir, alhamdulillah, pagar pintu sedang terbuka. Ia pun masuk ke halaman, alhamdulillah, pintu rumah pun terbuka. Ia terus masuk ke ruangan dalam, alhamdulillah, pintu ruangan dalam pun terbuka. Lalu ia menyusuri anak tangga menuju lantas atas untuk dapat menuju kamar Habib Abdul Qadir. Lagi-lagi, alhamdulillah, pintu kamar pun sedang terbuka.

Itu menjadi kenangan yang tak terlupakan baginya. Meski Habib Abdul Qadir kala itu sudah udzur dan hanya berada di atas tempat tidurnya, bagi Habib Ahmad, berkesempatan secara langsung untuk memandangi wajah sorang besar yang termasyhur akan keilmuan dan keshalihannya itu tentu merupakan karunia yang amat besar baginya.

Sewaktu kurikulum pelajaran di Darul Musthafa selesai, bersama empat kawan lainnya ia mendalami program kurikulum takhasus (pendalaman).

Singkat cerita, setelah selama beberapa tahun ia menimba ilmu di Hadhramaut, tahun 2004 Habib Ahmad pun pulang ke kampung halaman.

Sebelum kepulangannya, Habib Umar mengilbas dirinya, yaitu memakaikan imamah di kepalanya, seraya menyuruhnya agar meniatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.

Tak Merasa Berat

Setelah pulang, pertama kali ia mengajar di mushalla tempat ayahnya mengajar sebelumnya. Jadi, apa yang dilakukannya itu tak lain untuk meneruskan dakwah orangtua.

Waktu demi waktu ia pun terus menjalani khuruj dakwah, sebagaimana yang dipesankan gurunya. Di antaranya ke Pulau Seribu, yang telah menjadi rutinitas baginya, bahkan terkadang sampai ke negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura, di samping undangan-undangan dakwah yang dilayangkan kepadanya.

Saat ini ia membina majelis secara berkala. Ada yang harian, seperti yang masih terus berjalan sejak awal kepulangannya dari Hadhramaut, yaitu di mushalla dekat rumahnya. Ada yang mingguan, seperti malam Jum’at, yang digunakannya selain untuk mengaji kitab sekaligus juga untuk mengajak jama’ahnya membaca kitab Maulid bersama-sama, serta pengajian umum Ahad pagi, bagi mereka yang tidak bisa hadir di malam hari. Ada juga yang bersifat bulanan.

Habib Ahmad juga aktif mengajar di beberapa masjid, majelis ta’lim, kantor, perusahaan. Kini dakwahnya melebar lintas kalangan, mulai dari kalangan awam, santri, pelajar, mahasiswa, pengusaha, hingga sampai politisi. Baginya, mereka semua adalah lahan amal baginya untuk berdakwah.

Ar-Rausyan adalah nama yang dipilihnya untuk majelis yang ia asuh. Ar-Rausyan adalah nama salah satu cabang keluarga pada qabilah Al-Habsyi, sebagai nisbah daerah asal mereka di Hadhramaut. “Supaya orang mudah mengingatnya. Itu saja.”

Mengenai terjalnya medan dakwah yang harus ia jalani, kepada alKisah ia mengatakan, “Alhamdulillah, dakwah generasi kita sekarang ini lebih enak dari generasi salaf kita. Generasi salaf itu dakwahnya berat. Sangat jauh dengan kondisi sekarang. Jadi kalau kita bilang kita saat ini dalam berdakwah itu pahit atau berat, kita malu sama salaf kita.

Kita kini, kalau masuk sebuah daerah, kita disambut. Kalau salaf kita, tak sedikit yang disambit sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Memang di suatu daerah ada yang senang dan ada yang nggak senang sama dakwah kita, tapi tetap saja tak sebanding dengan jalan dakwah yang telah dirintis oleh para salaf. Jujur saja, kita ini belum seberapa.

Para salaf itulah yang telah membuka lahan. Sementara kita yang sekarang tinggal enak melenggang di atas lahan yang telah dibuka oleh mereka. Kalau masalah pahit, misalnya karena kita ada jalan kakinya, ada naik geteknya, itu kan hanya sesekali. Tetap saja kita lebih sering enaknya, naik mobil-lah, naik pesawat-lah.

Karenanya, sewaktu sudah enak, ketika kita masuk ke suatu daerah, kita jangan lupa untuk tetap menjaga adab. Misalnya, kalau masuk suatu daerah, kita harus sowan kepada orang-orang tua di sana. Kalau ada makam shalihin, kita ziarahi. Ada yang sakit, kita tengokin. Ada sekumpulan keluarga Alawiyyin, kita ikut kumpuli, kemudian kita saling bersilaturahim bersama mereka. Mereka akan senang luar biasa. Ini bagian dari akhlaq seorang dai yang semoga tak terlewat oleh rekan-rekan dai lainnya.”

Bagi Habib Ahmad, semua kegiatan dakwah yang dilakukannya semata-mata karena ia ingin membahagiakan hati Baginda Rasulullah SAW.

Saat ditanya apa harapan ke depannya, ia menjawab sederhana, “Ingin menjadi orang yang paling bermanfaat untuk orang lain.”

Benar yang dikatakannya, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara umat manusia adalah yang paling bermanfaat bagi umat manusia.”








Niatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.








Kampung Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu cukup familiar bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang lainnya.

Nama kampung itu disebut demikian karena keberadaan makam keramat di sana yang bangunan makamnya cukup panjang, sampai beberapa meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lain pada umumnya, yang hanya berkisar dua meter. Namun karena letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan menginjak daerah itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir laut sisi utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali ini dilahirkan.

Habib Ahmad bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari sebelas bersaudara. Ia besar dalam didikan orangtua yang tegas dalam mendidik anaknya.

“Gaya mendidiknya itu gaya wulaiti,” kata Habib Ahmad mengenang masa-masa indahnya saat sang ayah masih ada di tengah-tengah keluarga. Wulaiti adalah sebutan bagi seseorang yang lahir di tanah Arab. Memang, biasanya orang-orang sana itu sangat tegas dalam mendidik keluarganya.

“Ayah saya tergolong galak. Tegas sekali kalau mendidik anak-anaknya. Di rumah, setiap paginya kami harus bangun pagi-pagi sekali. Jam empat subuh harus sudah bangun. Kalau jam empat subuh tidak bangun, siap-siap saja kena siram air,” cerita Habib Ahmad. Meski ceritanya itu terkesan “seram”, Habib Ahmad menceritakannya dengan wajah sumringah. Rupanya ia merasakan bahwa hasil didikan ayahnya yang seperti itulah yang membentuk dirinya hingga bisa menjadi seperti sekarang.

“Walidi (ayah saya) galak. Ana nggak boleh banyak keluar. Ada layar tancap, ada ini, ada itu, tetap nggak boleh keluar. Tapi ana nggak pernah ngambek kalau dimarahin. Kalau walidi habis makan, bekasnya ana habisin. Kalau lagi duduk-duduk santai, ana deketin, terus ana pijit-pijit kakinya. Alhamdulillah, berkahnya sekarang ini amat terasa,” tuturnya.

Tekad Besar

Selain menempuh pendidikan di sekolah formal, Habib Ahmad juga dimasukkan oleh orangtuanya di sebuah madrasah yang jaraknya tak seberapa jauh dari rumahnya. “Orang menyebutnya ‘sekolah Arab’. Di sana saya diajari dasar-dasar pelajaran agama oleh Habib Yahya bin Salim Al-Kaf, di samping kalau di rumah didikan ayah saya terus saya dapatkan.”

Selepas SLTA, ia masuk sebuah pesantren, masih di wilayah Tangerang, yang diasuh oleh Habib Muhammad bin Abdurrahman Alatas. Dari pesantren itu, ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang diasas Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq, Bekasi, yaitu Pesantren Al-Khairat. Di pesantren yang diasuh Habib Hamid An-Nagib B.S.A. itu ia menimba ilmu dari beberapa ustadz. Selain kepada pembina dan pengasuhnya sendiri tentunya, ia juga banyak belajar kepada Habib Noval Al-Kaf (yang kini telah mendirikan pesantren sendiri di Sukabumi, Pesantren Darul Habib), Ustadz Muhammad Vad’aq (putra Habib Ahmad Vad’aq, pengasas Al-Khairat), Ustadz Zaki Mulachela, dan asatidz lainnya.

Di pesantren ini ia benar-benar menyiapkan dirinya dengan berbagai bekal untuk mencapai cita-citanya: belajar di Hadhramaut. Namun ia sendiri tidak tahu, mungkinkah ia dapat pergi ke Negeri Sejuta Wali itu.

“Uang nggak punya, persiapan nggak ada, ilmu masih ala kadarnya. Ya sudah, saat itu pokoknya saya berusaha menjadi seseorang yang seakan-akan sudah punya program jadi berangkat ke Hadhramaut. Saya hafalin dua juz Al-Qur’an, saya hafalin beberapa kitab yang menjadi syarat bagi pelajar yang mau berangkat ke sana. Bahkan saya sampai bikin paspor. Walidi masih belum tahu semua persiapan yang saya lakukan itu. Dan saya juga nggak tahu bisa berangkat apa nggak nantinya,” kisah Habib Ahmad.

Sampai akhirnya, suatu ketika, Allah pun memberi keluasan rizqi kepada orangtuanya. Hingga, dengan persediaan dana yang ada, Habib Ahmad pun merasa sudah siap seratus persen untuk berangkat ke Hadhramaut, melanjutkan pelajarannya di negeri leluhurnya itu. Sebab semua persiapan lainnya telah jauh-jauh hari ia persiapkan.

Harapan besarnya akhirnya kesampaian. Ia berangkat ke Hadhramaut. Sejak kecil, cita-citanya memang jadi orang yang berilmu agama. Ia ingat, sewaktu sekitar kelas 1 SD, kalau ada yang tanya nanti kalau sudah besar mau jadi apa, dengan tangkas Ahmad Al-Habsyi kecil menjawab, “Mau jadi kiai.”


Merasakan Kenikmatan

“Selama di Hadhramaut, saya paling senang kalau sudah masuk bulan Ramadhan. Di malam-malam Ramadhan, suasana masjid-masjid di sana luar biasa. Saat itu, kita merasakan nikmat yang luar biasa, tenggelam dalam ibadah terus-menerus,” kisah Habib Ahmad seputar masa-masa belajarnya di Hadhramaut.

Selain kenikmatan beribadah yang kondusif di negeri itu, Habib Ahmad juga merasakan nikmat dalam belajar. Di samping belajar, ia juga dididik untuk mengajar. Bahkan di samping tugas mengajar, ia juga mengajar secara privat kepada sejumlah santri.

Setelah dianggap cukup bisa terjun ke medan dakwah, setiap Kamis pagi ia dan kawan-kawan di Darul Musthafa keluar sampai malam Jum’at untuk berdakwah ke daerah-daerah Badwi, perkampungan pelosok di Hadhramaut.

“Kami disuruh membawa bekal sendiri, membawa roti. Kami dikirim ke daerah-daerah Badwi. Nggak boleh mengharap apa pun saat berdakwah di sana. Karenanya, kami pun membawa perbekalan sendiri,” kenangnya.

Saat masuk ke suatu daerah, “Kalau ada orangtua yang alim, kami datangin. Ada makam shalihin, kami ziarahin. Ada yang sakit, kami tengokin. Wallah, indah sekali,” kata Habib Ahmad. Bahkan ia sempat tugas khuruj dakwah sampai 40 hari.

Selama di Hadhramaut, ia tidak hanya belajar di lingkungan Darul Musthafa. Tapi, sebagaimana para santri lainnya yang memanfaatkan waktu mereka selama berada di Hadhramaut, ia juga mendatangi tokoh-tokoh ulama di sana, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah bin Muhammad Syihab, Habib Abubakar ‘Adni Al-Masyhur, Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus (atau yang dikenal dengan sebutan “Habib Sa’ad”), dan para tuan guru Hadhramaut lainnya.

Di antara kenangan manis lain yang ia rasakan dalam masa-masa belajarnya adalah keinginannya sejak dulu untuk bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah. Sekali waktu, ia berkesempatan menziarahi kota Makkah dan Madinah. Kesempatan itu pun sekaligus ia gunakan untuk datang ke kota Jeddah demi menjumpai tokoh besar yang selama itu hanya dilihat dari foto-foto yang beredar.

Saat ia mendatangi rumah Habib Abdul Qadir, alhamdulillah, pagar pintu sedang terbuka. Ia pun masuk ke halaman, alhamdulillah, pintu rumah pun terbuka. Ia terus masuk ke ruangan dalam, alhamdulillah, pintu ruangan dalam pun terbuka. Lalu ia menyusuri anak tangga menuju lantas atas untuk dapat menuju kamar Habib Abdul Qadir. Lagi-lagi, alhamdulillah, pintu kamar pun sedang terbuka.

Itu menjadi kenangan yang tak terlupakan baginya. Meski Habib Abdul Qadir kala itu sudah udzur dan hanya berada di atas tempat tidurnya, bagi Habib Ahmad, berkesempatan secara langsung untuk memandangi wajah sorang besar yang termasyhur akan keilmuan dan keshalihannya itu tentu merupakan karunia yang amat besar baginya.

Sewaktu kurikulum pelajaran di Darul Musthafa selesai, bersama empat kawan lainnya ia mendalami program kurikulum takhasus (pendalaman).

Singkat cerita, setelah selama beberapa tahun ia menimba ilmu di Hadhramaut, tahun 2004 Habib Ahmad pun pulang ke kampung halaman.

Sebelum kepulangannya, Habib Umar mengilbas dirinya, yaitu memakaikan imamah di kepalanya, seraya menyuruhnya agar meniatkan di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.

Tak Merasa Berat

Setelah pulang, pertama kali ia mengajar di mushalla tempat ayahnya mengajar sebelumnya. Jadi, apa yang dilakukannya itu tak lain untuk meneruskan dakwah orangtua.

Waktu demi waktu ia pun terus menjalani khuruj dakwah, sebagaimana yang dipesankan gurunya. Di antaranya ke Pulau Seribu, yang telah menjadi rutinitas baginya, bahkan terkadang sampai ke negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura, di samping undangan-undangan dakwah yang dilayangkan kepadanya.

Saat ini ia membina majelis secara berkala. Ada yang harian, seperti yang masih terus berjalan sejak awal kepulangannya dari Hadhramaut, yaitu di mushalla dekat rumahnya. Ada yang mingguan, seperti malam Jum’at, yang digunakannya selain untuk mengaji kitab sekaligus juga untuk mengajak jama’ahnya membaca kitab Maulid bersama-sama, serta pengajian umum Ahad pagi, bagi mereka yang tidak bisa hadir di malam hari. Ada juga yang bersifat bulanan.

Habib Ahmad juga aktif mengajar di beberapa masjid, majelis ta’lim, kantor, perusahaan. Kini dakwahnya melebar lintas kalangan, mulai dari kalangan awam, santri, pelajar, mahasiswa, pengusaha, hingga sampai politisi. Baginya, mereka semua adalah lahan amal baginya untuk berdakwah.

Ar-Rausyan adalah nama yang dipilihnya untuk majelis yang ia asuh. Ar-Rausyan adalah nama salah satu cabang keluarga pada qabilah Al-Habsyi, sebagai nisbah daerah asal mereka di Hadhramaut. “Supaya orang mudah mengingatnya. Itu saja.”

Mengenai terjalnya medan dakwah yang harus ia jalani, kepada alKisah ia mengatakan, “Alhamdulillah, dakwah generasi kita sekarang ini lebih enak dari generasi salaf kita. Generasi salaf itu dakwahnya berat. Sangat jauh dengan kondisi sekarang. Jadi kalau kita bilang kita saat ini dalam berdakwah itu pahit atau berat, kita malu sama salaf kita.

Kita kini, kalau masuk sebuah daerah, kita disambut. Kalau salaf kita, tak sedikit yang disambit sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Memang di suatu daerah ada yang senang dan ada yang nggak senang sama dakwah kita, tapi tetap saja tak sebanding dengan jalan dakwah yang telah dirintis oleh para salaf. Jujur saja, kita ini belum seberapa.

Para salaf itulah yang telah membuka lahan. Sementara kita yang sekarang tinggal enak melenggang di atas lahan yang telah dibuka oleh mereka. Kalau masalah pahit, misalnya karena kita ada jalan kakinya, ada naik geteknya, itu kan hanya sesekali. Tetap saja kita lebih sering enaknya, naik mobil-lah, naik pesawat-lah.

Karenanya, sewaktu sudah enak, ketika kita masuk ke suatu daerah, kita jangan lupa untuk tetap menjaga adab. Misalnya, kalau masuk suatu daerah, kita harus sowan kepada orang-orang tua di sana. Kalau ada makam shalihin, kita ziarahi. Ada yang sakit, kita tengokin. Ada sekumpulan keluarga Alawiyyin, kita ikut kumpuli, kemudian kita saling bersilaturahim bersama mereka. Mereka akan senang luar biasa. Ini bagian dari akhlaq seorang dai yang semoga tak terlewat oleh rekan-rekan dai lainnya.”

Bagi Habib Ahmad, semua kegiatan dakwah yang dilakukannya semata-mata karena ia ingin membahagiakan hati Baginda Rasulullah SAW.

Saat ditanya apa harapan ke depannya, ia menjawab sederhana, “Ingin menjadi orang yang paling bermanfaat untuk orang lain.”

Benar yang dikatakannya, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara umat manusia adalah yang paling bermanfaat bagi umat manusia.”



Habib Alwi bin Anis Al Habsyi Solo: “Saya hanya Meneruskan Tradisi Abah”





Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.







Zawiyah, Masjid Riyadh, Kamis 9 Maret 2012. Penampilan pengganti Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi itu terlihat mantap. Begitu pula, ketika memimpin pembacaan Simthud Durar setiap malam Jum’at, Habib Alwi sudah menuju track tradisi di Masjid Riyadh selama ini.

Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).

Amanah sebagai shahibul maqam di Masjid Riyadh memang begitu mendadak diterimanya. Namun setelah berjalannya waktu, tampaknya ia bisa melaksanakannya dengan baik. Sebab semua acara yang ada di Masjid Riyadh dan lingkungannya adalah tradisi yang sudah dikenal dan dijalankan sejak ia masih kecil, jadi tidak ada yang asing baginya.

“Yang penting menyiapkan mental untuk menerima tugas ini. Amanah ini harus diamalkan dengan landasan keikhlasan. Tanpa itu, kita akan merasa berat,” ujarnya.




Dalam pengakuannya, Habib Alwi mengatakan bahwa sejak muda tidak ada keinginan secuil pun untuk menjadi pengganti abahnya, Habib Anis. Sebab kala masih muda, masih ada kakak-kakaknya, yaitu almarhum Habib Ali, Habib Husin, dan Habib Ahmad. Namun entah kenapa saudara-saudaranya memilih dirinya menjadi pengganti abahnya. Bahkan sang pamam, Al-Maghfurlah Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi, yang dimintai pendapat, pun punya pendapat yang sama.

Namun, secara tidak langsung, alamat atau pertanda itu sudah ada jauh hari sebelumnya. Dari enam anak Habib Anis, hanya dirilah yang meneruskan usaha batik Habib Anis yang memiliki label dagang “Anis” (Apik dan Manis). Jadi setelah Habib Anis mengundurkan diri dari dunia perdagangan, dirinyalah yang meneruskan usaha batik itu di rumah keluarga, terletak di sebelah barat Masjid Riyadh.

“Dulunya batik tulis, kemudian mencoba batik printing. Tapi karena perdagangan batik mulai menurun, saya hentikan pada tahun 2005,” katanya. Ditambahkan, “Namun saya masih punya keinginan untuk melanjutkan lagi, sebab saya asyik kerja di batik, dan sekarang katanya perdagangan batik sedang ramai lagi.”

Meski keinginan untuk bekerja tetap bersemangat, akhirnya keinginannya itu direm sendiri. Sebab ketika harus memimpin keluarga Al-Habsyi dalam keluarganya dan menjadi imam Masjid Riyadh, waktu untuk bekerja yang lain sudah habis.

“Saya sekarang masih memegang usaha sapi perah di Telukan Sukoharjo, juga membuka toko roti ‘Hani’, dan istri saya membuka warung makan di depan ruko Riyadh,” katanya.

Penamaan toko roti “Hani” juga tetap mengacu kepada kesinambungan hubungan dengan abahnya. Nama “Hani” memiliki kepanjangan “Habib Anis”. Inilah naluri seorang anak yang ingin tetap mengharumkan nama abahnya dalam kehidupannya.

Mengapa ia tetap bekerja, meski harus memimpin berbagai acara yang diselenggarakan di Masjid Riyadh, juga kadang panggilan dari para jama’ah di tempat masing-masing untuk memimpin pembacaan Simthud Durar? Habib Alwi Al-Habsyi mengatakan, sikap ini diambil karena meneladani abahnya.
“Abah mendidik kami supaya tidak menjadi orang yang malas. Meski mendapat tugas sebagai juru dakwah, bekerja juga harus dijalankan. Bukankah Nabi Muhammad juga bekerja?” ujarnya.

Belajar dari Sang Ayah

Habib Alwi adalah anak keempat pasangan Habib Anis dan Syarifah Syifa binti Toha Assegaf. Keenam anak Habib Anis adalah Habib Ali (almarhum, mertua Habib Novel Alaydrus), Habib Husin, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdillah.

Habib Anis-lah yang dianggap Habib Alwi sebagai guru utamanya. “Saya belajar agama dari beliau, dari membaca Al-Qur’an hingga ilmu tasawuf dan ilmu kehidupan lainnya,” tuturnya.

Habib Alwi ingat, ia belajar membaca Al-Qur’an dimulai dengan mengeja huruf Hijaiyah ba’da maghrib di Masjid Riyadh. Tradisi membaca Al-Qur’an bersama setiap ba’da maghrib sampai sekarang masih dilestarikannya.

Kemudian, ia belajar di Madrasah Arrabitah Al-Alawiyah, yang berada di  samping rumahnya. Lalu ia meneruskan di SMP Islam Diponegoro dan SMA Negeri 3, semuanya di Solo.

Tahun 1977, ia mencari kerja di Saudi. Dua tahun di Jeddah sebagai pegawai apotek, dan di kota Damman sebagai pegawai tokoh parfum.

Di Saudi, ia memperlancar bahasa  Arab, sambil tabarukan kepada beberapa habib, seperti Habib Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf di Jeddah dan Habib Abu Bakar Aththas Al-Habsyi di Makkah.

Beberapa waktu kemudian Habib Alwi pulang ke kampung halaman dan kemudian menikah dengan Syarifah Zahra binti Isa Mulachela, orang Solo juga. Pasangan ini sekarang dikarunia empat anak: Khadijah (menikah dengan Sayyid Sholeh Muza bin Musthafa Mulachela, dan tinggal di Australia), Fathimah, Muhammad (almarhum), dan Hanna.

Pasangan Alwi-Zahra memang dikenal sebagai pekerja keras. Selain meneruskan pengelolaan batik “Anis”, Habib Alwi juga membuka usaha lainnya. Semula sapi potong, kemudian beralih sapi perah. Di rumah ia juga membuka toko roti “Hani” pada tahun 2008. Sedang istrinya membuka usaha warung makan, dan sekaligus catering, untuk menjamu tamu-tamu yang datang ke Masjid Riyadh.

Ia kemudian mengisahkan kenangan bersama sang abah. Dalam kesibukannya bekerja, Habib Anis tetap mengajar anak-anaknya dalam berbagai hal ilmu agama. Kadang-kadang Habib Anis membaca kalam-kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kemudian kitab-kitab yang ditulis Habib Abdullah Al-Haddad, dan yang paling sering adalah kajian kitab Ihya Ulumuddin.

“Bagi Habib Anis, yang paling penting dalam mempelajari ilmu agama adalah supaya memiliki akhlaq yang mulia. Meski berilmu tingga kalau tidak memiliki akhlaq, ilmunya tidak ada artinya apa-apa. Jadi kami dididik terutama dalam bidang akhlaq,” tuturnya.

Pelajaran-pelajaran itulah yang kemudian dijadikan modal untuk mengemban amanah sebagai imam dan shahibul maqam di Masjid Riyadh hingga sekarang. Pelajaran-pelajaran Habib Anis yang disampaikan di zawiyah, di ruang tamu, dan dalam pertemuan keluarga, menjadi bekal berharga dalam melanjutkan tradisi yang sudah berjalan di Masjid Riyadh.

Selama setahun, Masjid Riyadh memiliki beberapa event yang harus diselenggarakan. Terutama adalah haul Habib Ali di bulan Rabi’ul Akhir, kemudian khatam Bukhari pada bulan Rajab, dan Tarawih serta khataman Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, ‘uwad pada hari kedua ‘Idul Fithri, tahlil haul Habib Anis pada bulan Syawwal, penyembelihan qurban pada bulan Dzulhijjah, serta tahlil Habib Alwi di bulan Rabi’ul Awwal.

Sementara acara mingguan adalah membaca Simthud Durar setiap malam Jum’at. Khusus pada malam Jum’at Legi diadakan acara Legian,  diiringi qashidah, hadhrah, dan mau’izhah. Sedang untuk malam Jum’at biasa acara garingan (tidak diberi makan, hanya roti Hani dan kopi susu).

Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.

“Saya sekadar meneruskan tradisi Abah,” katanya.

Sumber




Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.







Zawiyah, Masjid Riyadh, Kamis 9 Maret 2012. Penampilan pengganti Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi itu terlihat mantap. Begitu pula, ketika memimpin pembacaan Simthud Durar setiap malam Jum’at, Habib Alwi sudah menuju track tradisi di Masjid Riyadh selama ini.

Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).

Amanah sebagai shahibul maqam di Masjid Riyadh memang begitu mendadak diterimanya. Namun setelah berjalannya waktu, tampaknya ia bisa melaksanakannya dengan baik. Sebab semua acara yang ada di Masjid Riyadh dan lingkungannya adalah tradisi yang sudah dikenal dan dijalankan sejak ia masih kecil, jadi tidak ada yang asing baginya.

“Yang penting menyiapkan mental untuk menerima tugas ini. Amanah ini harus diamalkan dengan landasan keikhlasan. Tanpa itu, kita akan merasa berat,” ujarnya.




Dalam pengakuannya, Habib Alwi mengatakan bahwa sejak muda tidak ada keinginan secuil pun untuk menjadi pengganti abahnya, Habib Anis. Sebab kala masih muda, masih ada kakak-kakaknya, yaitu almarhum Habib Ali, Habib Husin, dan Habib Ahmad. Namun entah kenapa saudara-saudaranya memilih dirinya menjadi pengganti abahnya. Bahkan sang pamam, Al-Maghfurlah Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi, yang dimintai pendapat, pun punya pendapat yang sama.

Namun, secara tidak langsung, alamat atau pertanda itu sudah ada jauh hari sebelumnya. Dari enam anak Habib Anis, hanya dirilah yang meneruskan usaha batik Habib Anis yang memiliki label dagang “Anis” (Apik dan Manis). Jadi setelah Habib Anis mengundurkan diri dari dunia perdagangan, dirinyalah yang meneruskan usaha batik itu di rumah keluarga, terletak di sebelah barat Masjid Riyadh.

“Dulunya batik tulis, kemudian mencoba batik printing. Tapi karena perdagangan batik mulai menurun, saya hentikan pada tahun 2005,” katanya. Ditambahkan, “Namun saya masih punya keinginan untuk melanjutkan lagi, sebab saya asyik kerja di batik, dan sekarang katanya perdagangan batik sedang ramai lagi.”

Meski keinginan untuk bekerja tetap bersemangat, akhirnya keinginannya itu direm sendiri. Sebab ketika harus memimpin keluarga Al-Habsyi dalam keluarganya dan menjadi imam Masjid Riyadh, waktu untuk bekerja yang lain sudah habis.

“Saya sekarang masih memegang usaha sapi perah di Telukan Sukoharjo, juga membuka toko roti ‘Hani’, dan istri saya membuka warung makan di depan ruko Riyadh,” katanya.

Penamaan toko roti “Hani” juga tetap mengacu kepada kesinambungan hubungan dengan abahnya. Nama “Hani” memiliki kepanjangan “Habib Anis”. Inilah naluri seorang anak yang ingin tetap mengharumkan nama abahnya dalam kehidupannya.

Mengapa ia tetap bekerja, meski harus memimpin berbagai acara yang diselenggarakan di Masjid Riyadh, juga kadang panggilan dari para jama’ah di tempat masing-masing untuk memimpin pembacaan Simthud Durar? Habib Alwi Al-Habsyi mengatakan, sikap ini diambil karena meneladani abahnya.
“Abah mendidik kami supaya tidak menjadi orang yang malas. Meski mendapat tugas sebagai juru dakwah, bekerja juga harus dijalankan. Bukankah Nabi Muhammad juga bekerja?” ujarnya.

Belajar dari Sang Ayah

Habib Alwi adalah anak keempat pasangan Habib Anis dan Syarifah Syifa binti Toha Assegaf. Keenam anak Habib Anis adalah Habib Ali (almarhum, mertua Habib Novel Alaydrus), Habib Husin, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdillah.

Habib Anis-lah yang dianggap Habib Alwi sebagai guru utamanya. “Saya belajar agama dari beliau, dari membaca Al-Qur’an hingga ilmu tasawuf dan ilmu kehidupan lainnya,” tuturnya.

Habib Alwi ingat, ia belajar membaca Al-Qur’an dimulai dengan mengeja huruf Hijaiyah ba’da maghrib di Masjid Riyadh. Tradisi membaca Al-Qur’an bersama setiap ba’da maghrib sampai sekarang masih dilestarikannya.

Kemudian, ia belajar di Madrasah Arrabitah Al-Alawiyah, yang berada di  samping rumahnya. Lalu ia meneruskan di SMP Islam Diponegoro dan SMA Negeri 3, semuanya di Solo.

Tahun 1977, ia mencari kerja di Saudi. Dua tahun di Jeddah sebagai pegawai apotek, dan di kota Damman sebagai pegawai tokoh parfum.

Di Saudi, ia memperlancar bahasa  Arab, sambil tabarukan kepada beberapa habib, seperti Habib Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf di Jeddah dan Habib Abu Bakar Aththas Al-Habsyi di Makkah.

Beberapa waktu kemudian Habib Alwi pulang ke kampung halaman dan kemudian menikah dengan Syarifah Zahra binti Isa Mulachela, orang Solo juga. Pasangan ini sekarang dikarunia empat anak: Khadijah (menikah dengan Sayyid Sholeh Muza bin Musthafa Mulachela, dan tinggal di Australia), Fathimah, Muhammad (almarhum), dan Hanna.

Pasangan Alwi-Zahra memang dikenal sebagai pekerja keras. Selain meneruskan pengelolaan batik “Anis”, Habib Alwi juga membuka usaha lainnya. Semula sapi potong, kemudian beralih sapi perah. Di rumah ia juga membuka toko roti “Hani” pada tahun 2008. Sedang istrinya membuka usaha warung makan, dan sekaligus catering, untuk menjamu tamu-tamu yang datang ke Masjid Riyadh.

Ia kemudian mengisahkan kenangan bersama sang abah. Dalam kesibukannya bekerja, Habib Anis tetap mengajar anak-anaknya dalam berbagai hal ilmu agama. Kadang-kadang Habib Anis membaca kalam-kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kemudian kitab-kitab yang ditulis Habib Abdullah Al-Haddad, dan yang paling sering adalah kajian kitab Ihya Ulumuddin.

“Bagi Habib Anis, yang paling penting dalam mempelajari ilmu agama adalah supaya memiliki akhlaq yang mulia. Meski berilmu tingga kalau tidak memiliki akhlaq, ilmunya tidak ada artinya apa-apa. Jadi kami dididik terutama dalam bidang akhlaq,” tuturnya.

Pelajaran-pelajaran itulah yang kemudian dijadikan modal untuk mengemban amanah sebagai imam dan shahibul maqam di Masjid Riyadh hingga sekarang. Pelajaran-pelajaran Habib Anis yang disampaikan di zawiyah, di ruang tamu, dan dalam pertemuan keluarga, menjadi bekal berharga dalam melanjutkan tradisi yang sudah berjalan di Masjid Riyadh.

Selama setahun, Masjid Riyadh memiliki beberapa event yang harus diselenggarakan. Terutama adalah haul Habib Ali di bulan Rabi’ul Akhir, kemudian khatam Bukhari pada bulan Rajab, dan Tarawih serta khataman Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, ‘uwad pada hari kedua ‘Idul Fithri, tahlil haul Habib Anis pada bulan Syawwal, penyembelihan qurban pada bulan Dzulhijjah, serta tahlil Habib Alwi di bulan Rabi’ul Awwal.

Sementara acara mingguan adalah membaca Simthud Durar setiap malam Jum’at. Khusus pada malam Jum’at Legi diadakan acara Legian,  diiringi qashidah, hadhrah, dan mau’izhah. Sedang untuk malam Jum’at biasa acara garingan (tidak diberi makan, hanya roti Hani dan kopi susu).

Selain itu, Habib Alwi juga meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri, seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.

“Saya sekadar meneruskan tradisi Abah,” katanya.

Sumber

al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf


Al-Allamah Al-Arifbillah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf lahir di Seiyun, Hadramaut pada tahun 1331 H / 1911 M. Sekarang beliau tinggal di Jeddah, Arab Saudi dan saat ini menjadi rujukan pentung bagi kaum Ahlussunnah Waljamaah.

Nasab beliau yang mulia

Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin  ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin ‘Umar bin Saqqaf bin Muhammad bin ‘Umar bin Thoha as-Saqqaf.  dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Kelahiran beliau

Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.

Kedua orangtua beliau

Ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi pernah
berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof (Hadramaut).

Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, tetapi tidak lama kemudian bayi tersebut meniggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib
Ali mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang
dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.

As-Syarifah Alawiyah meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh
Abubakar bin Salim (kakek dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada
sore hari, Sabtu, tanggal 4 Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru
berusia 25 tahun.

Ayahandanya, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, seorang ulama terkemuka di Hadramaut, yang kemudian menggantikan kedudukan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, setelah penyusun Simtud Duror itu wafat. Sedangkan ibundanya, Syarifah Alwiyah binti Ahmad Aljufri, wanita salihah yang dermawan.

Masa kecil beliau

Sejak kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus icontohkan oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf. Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua untuk mencetak kader-kader ulama dan shulaha’ (orang-orang baik) karena anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan juga ikut membentuk mereka.

Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.

Ketika usia Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya Al-Habib Thoha bin Umar Assagaf di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. ‘Ulmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.

Setelah beberapa waktu kemudian beliau keluar dari ‘Ulmah Thoha dan mencurahkan waktunya untuk lebih banyak duduk dan menimbah ilmu dari
ayahnya, sehingga tampak tanda-tanda kemuliaan pada diri beliau. Kemudian atas perintah ayahnya beliau melanjutkan pendidikannya di madrasah An-Nahdhoh Al-`ilmiyah di kota Sewun. Setelah itu, beliau belajar fiqih, tafsir dan sastra di Madrasah An-Nahdlatul Ilmiyah. Di perguruan ini pula beliau menghafal Al-Qur'an dan mempelajari Qiraah sab'ah ( tujuh jenis bacaan ) Al-Qur'an dari Syekh Hasan bin Abdullah Baraja, beliau juga membaca beberapa kitab langsung di bawah supervisi ayahandanya. 

Tapi beliau juga berguru kepada sejumlah ulama besar lainnya, Antara lain :

• Habib Umar bin Hamid Assegaf
• Habib Umar bin Abdul Qadir Assegaf
• Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi
• Habib Abdullah bin Idrus Alaydrus
• Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus
• Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab 

Sepeninggal ayahnya

Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman, yang meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh dan tokoh Alawiyyin saat
itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi oleh Al-Habib Abdul
Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi kebiasaan ayahnya.

Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis Asy-Syafi, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga hubungan silaturrahmi.

Karena ketinggian akhlak beliau itulah, menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga banyak orang ingin menimba ilmu
darinya. Dimana saja beliau mengajar atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para pendengarnya.

Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.

Di rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca dan mencatatnya, dan kemudian disimpan diperpustakaannya itu. 

Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai membuat syair. 

Hijrahnya dari Hadramaut

Suatu saat terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapus
tradisi leluhur dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya leluhurnya.

Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada tahun 1393 H. Disana
beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat menuju Singapura.

Di bandara Singapura, beliau disambut oleh banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah ilmu dari beliau.

Pada tahun 1393 H / 1973 M beliau memutuskan memperluas medan dakwahnya ke luar negeri. Maka beliau pun berdakwah sampai ke Singapura. 
Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta. Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Sa’id Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis lainnya di Jakarta.

Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.

Di setiap tempat yang dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin.
Setiap kota yang dimasuki, yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.

Pada tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah. Tak lama kemudian beliau juga sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Atas permintaan beberapa ulama di Tanah suci, beliau bermukim selama beberapa waktu di Mekah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis taklim. Beliau juga sempat berdakwah ke Zanzibar, Lebanon , Syria dan Mesir. Tapi belakangan beliau menetap di Jeddah.

Setiap kali beliau menyampaikan tausiah, selalu ada hal yang menarik. Misalnya ketika memberikan tausiah dalam sebuah rauhah, pengajian, di Jeddah pada 1411 H / 1990 M, " Yang banyak menimpa manusia pada zaman akhir ini ialah Futurul Himah ( kevakuman hasrat ) dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah swt." Ujarnya.

Menurutnya, sesungguhnya himmah, kesungguhan hasrat, merupakan penuntun lahirnya taufik Ilahi, pertolongan Allah swt bagi hamba-Nya agar mampu melaksanakan ketaatan, sebagai pos bisyarah, kabar gembira. Jika seseorang memiliki keinginan, lalu bersungguh-sungguh mencapainya, segala kesulitan akan menjadi mudah. Allah swt pun akan menolong dengan maunah, pertolongan dan taufik-Nya.

Menurut Habib Abdul Qadir yang kini semakin melemah adalah kekuatan keimanan kita. " Kebanyakan orang sekarang merasa berat bangun malam, lebih suka bermalas-malasan, ini semua jelas akibat bujuk rayu setan." Katanya.

Kini, tokoh Ahlus sunnah Wal Jamaah yang langka ini menjadi semacam azimat bagi kalangan Habaib dan Muhibin di Tanah air maupun di negeri-negeri islam lainnya.

(No 07 / Tahun III / 28 Maret – 10 April 2005 &No.15/ Tahun V / 16-29 Juli 2007)

Kepergian Al Allamah Al Habib Abdul Qodir Bin Ahmad Asseqaf pada Ahad 19 Rabi’ul Akhir 1431 H dini hari, bersamaan 4 April 2010 M, membawa berita yang teramat sedih kepada keluarga besar ‘Alawiyyin dan para Muhibbin khususnya dan kaum Muslimin umumnya. Beliau kembali ke rahmatullah sebelum waktu Fajar di Jeddah, Arab Saudi.
  
Guru-guru beliau

Al-Habib Abdul Qodir menimbah ilmu dari banyak guru. Setiap berkunjung ke suatu tempat, beliau menyempatkan diri untuk menggali ilmu dari
para ulama dan orang-orang sholeh di tempat tersebut. Di antara guru beliau adalah Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf (ayah beliau),
Al-Habib Umar bin Hamid bin Umar Assaggaf, Al-Habib Umar bin Abdul Qodir bin Ahmad Assaggaf, Al-Habib Abdul Bari bin Syaikh Al-Aidrus,
Al-Habib Muhammad bin Hadi Assaggaf, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul), Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aidrus, dan lain-lain.

Murid-murid beliau

Di antara para murid beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Alhaddar, Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Sumaith, Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, Al-Habib Abubakar Al-’Adany bin Ali Al-Masyhur, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ِAl-Habib Abubakar bin Hasan Al-Atthas dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Diantara Teman-teman beliau yang telah pergi mendahului beliau, Adalah, Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Kaf. Al-Habib Abu Bakar Atthas bin Abdullah al-Habsyi. Syeikh Umar Khatib.

Habib Abdul Qadir adalah seorang ulama dan dai yang menjalankan dakwahnya dengan penuh kebijaksanaan. Akhlaknya yang tinggi mampu menawan hati sesiapa saja, ilmu, wara’ dan akhlaknya menyebabkan beliau dikasihi dan dihormati. Kabarnya Buya Hamka pernah ziarah kepada beliau sewaktu di Jeddah, dan setelah berbincang dengan beliau, akhirnya Buya Hamka mengakui bahwa Baitun Nubuwwah Bani Zahra min Ali masih wujud dan berkesinambungan dalam darah para saadah Bani ‘Alawiy.

Beliau telah lama uzur. Dan sebelum Fajar hari Ahad, 19 Rabi ’al-Akhir 1431 H bersamaan 4 April 2010, beliau kembali ke Rahmatullah di Jeddah. Beliau menutup umur pada usia 100 tahun. Dan Dishalatkan di Masjidil Haram Makkah selepas shalat Isya, Ahad 4 April 2010.

Selamat jalan wahai Habib Abdul Qodir. Semoga keselamatan, kesejahtraan, rahmat Allah dan ridhoNya selalu menyertaimu. Semoga Allah SWT membalas semua pengorbananmu untuk Alawiyyin dan kaum muslimin.

Selamat Jalan Imam dan Khalifah para habaib di dunia... Khalifah para habaib terus silih berganti dari generasi ke generasi mengemban beban luhur...


Di bawah ini adalah foto-foto al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf :






Sumber

Al-Allamah Al-Arifbillah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf lahir di Seiyun, Hadramaut pada tahun 1331 H / 1911 M. Sekarang beliau tinggal di Jeddah, Arab Saudi dan saat ini menjadi rujukan pentung bagi kaum Ahlussunnah Waljamaah.

Nasab beliau yang mulia

Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin  ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin ‘Umar bin Saqqaf bin Muhammad bin ‘Umar bin Thoha as-Saqqaf.  dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Kelahiran beliau

Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.

Kedua orangtua beliau

Ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi pernah
berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof (Hadramaut).

Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, tetapi tidak lama kemudian bayi tersebut meniggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib
Ali mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang
dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.

As-Syarifah Alawiyah meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh
Abubakar bin Salim (kakek dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada
sore hari, Sabtu, tanggal 4 Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru
berusia 25 tahun.

Ayahandanya, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, seorang ulama terkemuka di Hadramaut, yang kemudian menggantikan kedudukan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, setelah penyusun Simtud Duror itu wafat. Sedangkan ibundanya, Syarifah Alwiyah binti Ahmad Aljufri, wanita salihah yang dermawan.

Masa kecil beliau

Sejak kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus icontohkan oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf. Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua untuk mencetak kader-kader ulama dan shulaha’ (orang-orang baik) karena anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan juga ikut membentuk mereka.

Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.

Ketika usia Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya Al-Habib Thoha bin Umar Assagaf di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. ‘Ulmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.

Setelah beberapa waktu kemudian beliau keluar dari ‘Ulmah Thoha dan mencurahkan waktunya untuk lebih banyak duduk dan menimbah ilmu dari
ayahnya, sehingga tampak tanda-tanda kemuliaan pada diri beliau. Kemudian atas perintah ayahnya beliau melanjutkan pendidikannya di madrasah An-Nahdhoh Al-`ilmiyah di kota Sewun. Setelah itu, beliau belajar fiqih, tafsir dan sastra di Madrasah An-Nahdlatul Ilmiyah. Di perguruan ini pula beliau menghafal Al-Qur'an dan mempelajari Qiraah sab'ah ( tujuh jenis bacaan ) Al-Qur'an dari Syekh Hasan bin Abdullah Baraja, beliau juga membaca beberapa kitab langsung di bawah supervisi ayahandanya. 

Tapi beliau juga berguru kepada sejumlah ulama besar lainnya, Antara lain :

• Habib Umar bin Hamid Assegaf
• Habib Umar bin Abdul Qadir Assegaf
• Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi
• Habib Abdullah bin Idrus Alaydrus
• Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus
• Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab 

Sepeninggal ayahnya

Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman, yang meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh dan tokoh Alawiyyin saat
itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi oleh Al-Habib Abdul
Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi kebiasaan ayahnya.

Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis Asy-Syafi, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga hubungan silaturrahmi.

Karena ketinggian akhlak beliau itulah, menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga banyak orang ingin menimba ilmu
darinya. Dimana saja beliau mengajar atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para pendengarnya.

Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.

Di rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca dan mencatatnya, dan kemudian disimpan diperpustakaannya itu. 

Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai membuat syair. 

Hijrahnya dari Hadramaut

Suatu saat terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapus
tradisi leluhur dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya leluhurnya.

Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada tahun 1393 H. Disana
beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat menuju Singapura.

Di bandara Singapura, beliau disambut oleh banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah ilmu dari beliau.

Pada tahun 1393 H / 1973 M beliau memutuskan memperluas medan dakwahnya ke luar negeri. Maka beliau pun berdakwah sampai ke Singapura. 
Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta. Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Sa’id Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis lainnya di Jakarta.

Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.

Di setiap tempat yang dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin.
Setiap kota yang dimasuki, yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.

Pada tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah. Tak lama kemudian beliau juga sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Atas permintaan beberapa ulama di Tanah suci, beliau bermukim selama beberapa waktu di Mekah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis taklim. Beliau juga sempat berdakwah ke Zanzibar, Lebanon , Syria dan Mesir. Tapi belakangan beliau menetap di Jeddah.

Setiap kali beliau menyampaikan tausiah, selalu ada hal yang menarik. Misalnya ketika memberikan tausiah dalam sebuah rauhah, pengajian, di Jeddah pada 1411 H / 1990 M, " Yang banyak menimpa manusia pada zaman akhir ini ialah Futurul Himah ( kevakuman hasrat ) dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah swt." Ujarnya.

Menurutnya, sesungguhnya himmah, kesungguhan hasrat, merupakan penuntun lahirnya taufik Ilahi, pertolongan Allah swt bagi hamba-Nya agar mampu melaksanakan ketaatan, sebagai pos bisyarah, kabar gembira. Jika seseorang memiliki keinginan, lalu bersungguh-sungguh mencapainya, segala kesulitan akan menjadi mudah. Allah swt pun akan menolong dengan maunah, pertolongan dan taufik-Nya.

Menurut Habib Abdul Qadir yang kini semakin melemah adalah kekuatan keimanan kita. " Kebanyakan orang sekarang merasa berat bangun malam, lebih suka bermalas-malasan, ini semua jelas akibat bujuk rayu setan." Katanya.

Kini, tokoh Ahlus sunnah Wal Jamaah yang langka ini menjadi semacam azimat bagi kalangan Habaib dan Muhibin di Tanah air maupun di negeri-negeri islam lainnya.

(No 07 / Tahun III / 28 Maret – 10 April 2005 &No.15/ Tahun V / 16-29 Juli 2007)

Kepergian Al Allamah Al Habib Abdul Qodir Bin Ahmad Asseqaf pada Ahad 19 Rabi’ul Akhir 1431 H dini hari, bersamaan 4 April 2010 M, membawa berita yang teramat sedih kepada keluarga besar ‘Alawiyyin dan para Muhibbin khususnya dan kaum Muslimin umumnya. Beliau kembali ke rahmatullah sebelum waktu Fajar di Jeddah, Arab Saudi.
  
Guru-guru beliau

Al-Habib Abdul Qodir menimbah ilmu dari banyak guru. Setiap berkunjung ke suatu tempat, beliau menyempatkan diri untuk menggali ilmu dari
para ulama dan orang-orang sholeh di tempat tersebut. Di antara guru beliau adalah Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf (ayah beliau),
Al-Habib Umar bin Hamid bin Umar Assaggaf, Al-Habib Umar bin Abdul Qodir bin Ahmad Assaggaf, Al-Habib Abdul Bari bin Syaikh Al-Aidrus,
Al-Habib Muhammad bin Hadi Assaggaf, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul), Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aidrus, dan lain-lain.

Murid-murid beliau

Di antara para murid beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Alhaddar, Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Sumaith, Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, Al-Habib Abubakar Al-’Adany bin Ali Al-Masyhur, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ِAl-Habib Abubakar bin Hasan Al-Atthas dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Diantara Teman-teman beliau yang telah pergi mendahului beliau, Adalah, Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Kaf. Al-Habib Abu Bakar Atthas bin Abdullah al-Habsyi. Syeikh Umar Khatib.

Habib Abdul Qadir adalah seorang ulama dan dai yang menjalankan dakwahnya dengan penuh kebijaksanaan. Akhlaknya yang tinggi mampu menawan hati sesiapa saja, ilmu, wara’ dan akhlaknya menyebabkan beliau dikasihi dan dihormati. Kabarnya Buya Hamka pernah ziarah kepada beliau sewaktu di Jeddah, dan setelah berbincang dengan beliau, akhirnya Buya Hamka mengakui bahwa Baitun Nubuwwah Bani Zahra min Ali masih wujud dan berkesinambungan dalam darah para saadah Bani ‘Alawiy.

Beliau telah lama uzur. Dan sebelum Fajar hari Ahad, 19 Rabi ’al-Akhir 1431 H bersamaan 4 April 2010, beliau kembali ke Rahmatullah di Jeddah. Beliau menutup umur pada usia 100 tahun. Dan Dishalatkan di Masjidil Haram Makkah selepas shalat Isya, Ahad 4 April 2010.

Selamat jalan wahai Habib Abdul Qodir. Semoga keselamatan, kesejahtraan, rahmat Allah dan ridhoNya selalu menyertaimu. Semoga Allah SWT membalas semua pengorbananmu untuk Alawiyyin dan kaum muslimin.

Selamat Jalan Imam dan Khalifah para habaib di dunia... Khalifah para habaib terus silih berganti dari generasi ke generasi mengemban beban luhur...


Di bawah ini adalah foto-foto al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf :






Sumber

Kisah Kewafatan Al Habib 'Abdul Qadir Bin 'Abdurrahman Assegaf


Foto: al Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah, kiri dari layar) dan al Habib 'Abdul Qadir bin 'Abdurrahman Assegaf (Solo, kanan dari layar) 

Shaf pertama penuh berdesak-desakan.

Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf mengisyaratkan kepada Habib Najib bin Thoha Assegaf agar maju ke shaf pertama di belakang beliau.

Melihat shaf pertama yang telah penuh berdesak-desakkan itu Habib Najib bin Thoha berkata, "Shaf pertama telah penuh, wahai Habib."

Mendengar jawaban itu Habib Abdul Qadir menjawab dengan penuh kewibawaan, "Wahai anakku, majulah, kau tak mengetahui maksudku!"

Jawaban itu menjadikan Habib Najib bin Thoha spontan maju ke shaf pertama, walaupun harus memaksakan diri mendesak shaf yang telah penuh itu. "Allaahu akbar".

Shalat jumat mulai didirikan. Habib Abdul Qadir membaca surat al-Fatihah, lalu membaca surat setelahnya dalam keadaan menangis.Di rakaat kedua pada sujud terakhir, beliau tak kunjung bangkit dari sujudnya. Suara nafasnya terdengar dari speaker masjid.

Karena sujud itu sudah sangat lama, maka Habib Najib bin Thoha memberanikan diri untuk menggantikan beliau. "Allaahu akbar", Ucapan salam untuk mengakhiri shalat diucapkan. Para jamaah berhamburan lari ke depan ingin mengetahui apa yang terjadi pada habib Abdul Qadir.

Saat itu mereka mendapati Habib Abdul Qadir tetap dalam keadaan sujud tak bergerak. Lalu tubuh yang bersujud itu dibalik oleh para jamaah, dan terlihatlah wajah Habib Abdul Qadir.

Maasya-Allaah, setiap orang yang melihat wajah beliau, menitikkan air mata. Bagaimana tidak menitikkan air mata? Mereka melihat wajah Habib Abdul Qadir tersenyum dengan jelas sekali. Tersenyum bahagia. Habib Abdul Qadir wafat dalam keadaan menikmati amal yang terindah.

Di saat melakukan ibadah yang teragung yaitu shalat. Mendirikan shalat itu dalam kondisi yang terutama, yaitu shalat berjamaah. Melakukan shalat yang bermuatan besar, yaitu shalat jumat. Pada saat melaksanakan rukun shalat yang terutama, yaitu sujud. Dalam posisi yang terpenting, yaitu sebagai imam shalat jumat. Di tempat yang paling utama, yaitu masjid. Di hari yang paling utama, yaitu hari Jum'at.

dari Sayyidil Habib Husin Nabil


Foto: al Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah, kiri dari layar) dan al Habib 'Abdul Qadir bin 'Abdurrahman Assegaf (Solo, kanan dari layar) 

Shaf pertama penuh berdesak-desakan.

Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf mengisyaratkan kepada Habib Najib bin Thoha Assegaf agar maju ke shaf pertama di belakang beliau.

Melihat shaf pertama yang telah penuh berdesak-desakkan itu Habib Najib bin Thoha berkata, "Shaf pertama telah penuh, wahai Habib."

Mendengar jawaban itu Habib Abdul Qadir menjawab dengan penuh kewibawaan, "Wahai anakku, majulah, kau tak mengetahui maksudku!"

Jawaban itu menjadikan Habib Najib bin Thoha spontan maju ke shaf pertama, walaupun harus memaksakan diri mendesak shaf yang telah penuh itu. "Allaahu akbar".

Shalat jumat mulai didirikan. Habib Abdul Qadir membaca surat al-Fatihah, lalu membaca surat setelahnya dalam keadaan menangis.Di rakaat kedua pada sujud terakhir, beliau tak kunjung bangkit dari sujudnya. Suara nafasnya terdengar dari speaker masjid.

Karena sujud itu sudah sangat lama, maka Habib Najib bin Thoha memberanikan diri untuk menggantikan beliau. "Allaahu akbar", Ucapan salam untuk mengakhiri shalat diucapkan. Para jamaah berhamburan lari ke depan ingin mengetahui apa yang terjadi pada habib Abdul Qadir.

Saat itu mereka mendapati Habib Abdul Qadir tetap dalam keadaan sujud tak bergerak. Lalu tubuh yang bersujud itu dibalik oleh para jamaah, dan terlihatlah wajah Habib Abdul Qadir.

Maasya-Allaah, setiap orang yang melihat wajah beliau, menitikkan air mata. Bagaimana tidak menitikkan air mata? Mereka melihat wajah Habib Abdul Qadir tersenyum dengan jelas sekali. Tersenyum bahagia. Habib Abdul Qadir wafat dalam keadaan menikmati amal yang terindah.

Di saat melakukan ibadah yang teragung yaitu shalat. Mendirikan shalat itu dalam kondisi yang terutama, yaitu shalat berjamaah. Melakukan shalat yang bermuatan besar, yaitu shalat jumat. Pada saat melaksanakan rukun shalat yang terutama, yaitu sujud. Dalam posisi yang terpenting, yaitu sebagai imam shalat jumat. Di tempat yang paling utama, yaitu masjid. Di hari yang paling utama, yaitu hari Jum'at.

dari Sayyidil Habib Husin Nabil

Biografi Habib Syech Bin Abdul Qadir Assegaf


Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf ( tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya.

Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout. Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rosul yang diawali dari Kota Solo.

Waktu demi waktu berjalan mengiringi syiar cinta Rosulnya, tanpa disadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama’ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosul SAW dalam kehidupan ini.

Ahbabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rosul SAW, berdiri sekitar Tahun 1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .

Sampai sekarang, Habib Syech masih melantunkan syair-syair indah nan menggetarkan hati Sholawat Shimthud Durror di berbagai tempat, untuk di Jogja setiap malam Jumat Pahing di IAIN SUKA, Timoho.

Sholawat rutin :
setiap hari Rabu Malam dan Sabtu Malam Ba’da Isyak di Kediaman Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf .
Pengajian Rutin Selapanan Ahbabul Musthofa
- Purwodadi ( Malam Sabtu Kliwon ) di Masjid Agung Baitul Makmur Purwodadi.
- Kudus ( Malam Rabu Pahing ) di Halaman Masjid Agung Kudus.
- Jepara ( Malam Sabtu Legi ) di Halaman Masjid Agung Jepara .
- Sragen ( Malam Minggu Pahing ) di Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen.
- Jogja ( Malam Jum’at Pahing ) di Halaman PP. Minhajuttamyiz, Timoho, di belakang Kampus IAIN.
- Solo ( Malam Minggu Legi ) di Halaman Mesjid Agung Surakarta.
Jangan hanya main band meniru dan mengidolakan gaya orang-orang kafir, tapi Nabi sendiri tidak pernah ditiru dan dipuji puji! Sudah saatnya bersholawat, menjunjung, memuji dan meniru Nabi Muhammad SAW agar memperoleh syafaatnya dan beliau mengakui kita sebagai umatnya, karena percuma saja kita yg mengaku ngaku umatnya, tapi tidak pernah bersholawat.

Sumber

Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf ( tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya.

Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout. Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rosul yang diawali dari Kota Solo.

Waktu demi waktu berjalan mengiringi syiar cinta Rosulnya, tanpa disadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama’ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosul SAW dalam kehidupan ini.

Ahbabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rosul SAW, berdiri sekitar Tahun 1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .

Sampai sekarang, Habib Syech masih melantunkan syair-syair indah nan menggetarkan hati Sholawat Shimthud Durror di berbagai tempat, untuk di Jogja setiap malam Jumat Pahing di IAIN SUKA, Timoho.

Sholawat rutin :
setiap hari Rabu Malam dan Sabtu Malam Ba’da Isyak di Kediaman Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf .
Pengajian Rutin Selapanan Ahbabul Musthofa
- Purwodadi ( Malam Sabtu Kliwon ) di Masjid Agung Baitul Makmur Purwodadi.
- Kudus ( Malam Rabu Pahing ) di Halaman Masjid Agung Kudus.
- Jepara ( Malam Sabtu Legi ) di Halaman Masjid Agung Jepara .
- Sragen ( Malam Minggu Pahing ) di Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen.
- Jogja ( Malam Jum’at Pahing ) di Halaman PP. Minhajuttamyiz, Timoho, di belakang Kampus IAIN.
- Solo ( Malam Minggu Legi ) di Halaman Mesjid Agung Surakarta.
Jangan hanya main band meniru dan mengidolakan gaya orang-orang kafir, tapi Nabi sendiri tidak pernah ditiru dan dipuji puji! Sudah saatnya bersholawat, menjunjung, memuji dan meniru Nabi Muhammad SAW agar memperoleh syafaatnya dan beliau mengakui kita sebagai umatnya, karena percuma saja kita yg mengaku ngaku umatnya, tapi tidak pernah bersholawat.

Sumber